Dalam buku karya Ibnu al-Jawzi (w. 597 H) “Shayd al-Khâthir”. Beliau
mencatat: “Aku telah mencermati adanya aksi “saling-dengki” diantara
para ulama. Aku melihat bahwa sumbernya adalah “cintai dunia”.
Ulama-ulama akhirat saling-mencintai dan tidak saling-dengki, seperti
firman Allah swt: “Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)…”
(Qs. al-Hasyr [59]: 9) dan firman Allah: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Hasyr [59]: 10).
Abu al-Dardâ’ setiap malam mendoakan sekelompok kawannya. Imam Ahmad ibn Hanbal berkata kepada anak Imam Syafi‘i: “Ayahmu adalah termasuk dari enam orang yang setiap malam aku doakan ketika datang waktu pagi.”
Perbedaan antara kedua kelompok ulama adalah: Ulama-ulama dunia senantiasa melihat kekuasaan, cinta
untuk mengumpulkan –glamor duniawi–dan suka menerima pujian. Sedangkan ulama akhirat meninggalkan hal itu. Mereka merasa takut akan hal itu, dan merasa kasihan orang yang dicoba dengan kekuasaan. Al-Nakha’i tidak pernah bersandar kepada satu tiang. ‘Alqamah berkata: “Aku tidak suka untuk menyandarkan punggungku.” Kemudian dikatakan: “Itulah sosok ‘Alqamah.”
Sebagian dari mereka –ulama akhirat–jika didatangi oleh lebih dari empat orang, mereka akan berdiri –meninggalkan perkumpulan. Mereka saling dorong untuk mengeluarkan fatwa dan lebih mencintai ‘ketololan’ –pura-pura dianggap tolol, tidak tahu apa-apa. Perumpamaan mereka itu bak pesiar di lautan yang didera gelombang, yang memiliki satu kesibukan sampai diyakinkan bahwa dia akan selamat. Sebagian mereka mendoakan yang lainnya dan mengambi manfaat darinya, karena mereka adalah para penumpang yang saling bersahabat sehingga saling cinta-mencintai. Hari-hari dan malam-malam adalah “fase-fase” mereka menuju surga.
(Qs. al-Hasyr [59]: 9) dan firman Allah: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Hasyr [59]: 10).
Abu al-Dardâ’ setiap malam mendoakan sekelompok kawannya. Imam Ahmad ibn Hanbal berkata kepada anak Imam Syafi‘i: “Ayahmu adalah termasuk dari enam orang yang setiap malam aku doakan ketika datang waktu pagi.”
Perbedaan antara kedua kelompok ulama adalah: Ulama-ulama dunia senantiasa melihat kekuasaan, cinta
untuk mengumpulkan –glamor duniawi–dan suka menerima pujian. Sedangkan ulama akhirat meninggalkan hal itu. Mereka merasa takut akan hal itu, dan merasa kasihan orang yang dicoba dengan kekuasaan. Al-Nakha’i tidak pernah bersandar kepada satu tiang. ‘Alqamah berkata: “Aku tidak suka untuk menyandarkan punggungku.” Kemudian dikatakan: “Itulah sosok ‘Alqamah.”
Sebagian dari mereka –ulama akhirat–jika didatangi oleh lebih dari empat orang, mereka akan berdiri –meninggalkan perkumpulan. Mereka saling dorong untuk mengeluarkan fatwa dan lebih mencintai ‘ketololan’ –pura-pura dianggap tolol, tidak tahu apa-apa. Perumpamaan mereka itu bak pesiar di lautan yang didera gelombang, yang memiliki satu kesibukan sampai diyakinkan bahwa dia akan selamat. Sebagian mereka mendoakan yang lainnya dan mengambi manfaat darinya, karena mereka adalah para penumpang yang saling bersahabat sehingga saling cinta-mencintai. Hari-hari dan malam-malam adalah “fase-fase” mereka menuju surga.
0 komentar:
Posting Komentar